gaya bangunan terutama untuk tempat tinggal khas jawa
Bangunanini menerapkan konsep green building seperti sensor lampu otomatis, sistem daur ulang air, hingga penggunaan jendela berukuran besar supaya cahaya matahari bisa masuk secara alami. Penerapan konsep ramah lingkungan ini berhasil mengurangi penggunaan energi dan air masing-masing sebanyak 44% dan 81%. 5.
KotaSurabaya juga menjadi tempat tinggal warga Madura sebanyak 7,50%, Beberapa ciri khas bangunan yang ada di kawasan ini di antaranya adalah Adhiwangsa Apartment, yakni sebuah festival seni untuk melestarikan budaya Surabaya dan Jawa Timur pada umumnya. Festival Cak Durasim ini biasanya diadakan di Gedung Cak Durasim, Surabaya. Selain
Berikutrekomendasi lima spot kuliner di kota Malang dan Batu yang berkonsep tradisional Jawa agar generasi masa kini kembali mengingat serta melestarikan warisan seni dan budaya bangsa yang luhur. 1. Ndalem Ratu, Singosari Malang. Restoran berkonsep tradisional yang terletak tidak jauh dari Candi Singosari ini berlokasi di Jalan Kertanegara
Pertimbangkanwisata alam seperti Pantai Batu Karas, Ranca Upas, atau taman seperti Dago Dream Park. ③ Untuk Anda yang suka udara adem, kunjungi daerah Lembang-Bandung atau Dago-Bandung. ④ Dapatkan pengalaman unik dengan berkunjung ke tempat wisata ala luar negeri. 10 Tempat wisata di Jawa Barat. No. 1: Lembang Park & Zoo.
lirik lagu angkasa jangan ada dusta diantara kita. Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas. Wonosobo adalah sebuah kabupaten di Jawa Tengah dan terletak persis di tengah-tengah pulau Jawa. Sebagai daerah paling sentral di pulau Jawa, kabupaten yang terkenal dengan Mie Ongkloknya ini menjadi pusat pertemuan dari berbagai budaya, terutama antara barat dan timur wilayah Jawa. Bukan hanya terkenal akan tempat wisatanya saja seperti dataran tinggi Dieng, namun Wonosobo juga mempunyai ciri khas unik dari budaya masyarakatnya. Salah satunya Jawa di Wonosobo sebenarnya termasuk dalam sub dialek Kedu yang juga dituturkan oleh masyarakat bekas wilayah Karesidenan Kedu lainnya seperti Magelang, Purworejo, Temanggung, dan Kebumen. Tetapi jika kita amati, masing-masing kota dan kabupaten tersebut memiliki banyak sekali perbedaan seperti Magelang dan Purworejo yang masih sangat mirip dengan dialek bandekan Yogyakarta, Temanggung yang sudah mulai sedikit tercampur dengan aksen lain yang agak berbeda, dan Kebumen yang ngapak. Masyarakat Wonosobo sebenarnya bukan termasuk penutur bahasa ngapak ala Banyumasan, bukan juga pengguna bahasa Jawa bandekan seperti umunya kota-kota lain Jawa Tengah-Yogyakarta. Terus apa kalau begitu? Ini dia beberapa ciri khas Bahasa Jawa ala Logat dan aksen yang unik dan beragam Sebagai daerah pertengahan yang menjadi pertemuan antara budaya banyumasan yang ngapak dengan Surakarta/Yogyakarta yang medhok, aksen dan gaya bicara masyarakat Wonosobo adalah campuran antara keduanya. Namun gaya bicara yang ada pun ternyata bukan hanya satu jenis. Jika kita amati, sebenarnya semakin ke barat wilayah Wonosobo gaya bicara masyarakatnya pun semakin mirip dengan dialek banyumasan. Sebaliknya semakin ke barat gaya bicaranya lebih mendekati dialek bandekan khas Jogja dan Solo yang medhok. Sebagai informasi, saya berasal dari daerah Kecamatan Sapuran yang mana sudah mendekati perbatasan dengan Magelang dan Purworejo sehingga cukup berbeda dengan teman-teman saya yang berasal dari daerah lain walaupun masih satu Kabupaten seperti Kertek, Mojotengah, Wadaslintang, dan Garung. Sebagai contoh, jika pelafalan huruf "K" diakhir sebuah kata seperti Sitik, Gasik, Apik, dan Badak di beberapa kecamatan seperti Kertek, Garung, dan Mojotengah dibaca dengan pelafalan yang tegas, di kecamatan yang lain seperti Sapuran dan Kepil adalah dengan membaca huruf "K" secara lebih samar-samar misalnya siti', api', bada', listri' mungkin seperti kata "tidak" atau "agak" dalam bahasa Indonesia.Begitupun dengan logat yang dituturkan. Beberapa daerah memiliki logat yang lebih meliuk-liuk dan banyak penekanan. Sementara di daerah yang berbeda, aksen yang digunakan cenderung lebih datar dan halus. Antar kecamatan bahkan desa pun selalu memiliki ciri khas berbicara yang berbeda-beda, apalagi antar kota. Orang Wonosobo biasanya akan menganggap lucu dan agak lebih kasar ketika mendengar orang-orang dari daerah Banyumas yang berbicara dengan aksen ngapaknya. Namun orang Wonosobo juga akan dianggap lucu dan unik jika orang-orang Jogja/Solo mendengar mereka berbicara. Salah satu kelebihan orang Wonosobo adalah mereka cukup adaptif untuk masalah bahasa, sehingga hanya butuh waktu singkat agar mereka dapat menyesuaikan dengat logat dari daerah lain 2. Pengucapan huruf vokalDalam hal ini, warga Wonosobo agak memiliki kesamaan dengan daerah Jawa Timur di mana pengucapan E dan I memiliki cara baca yang sama antara huruf vokal pertama dan kedua. Misalnya adalah kata titip" yang dalam Bahasa Jawa pada umumnya akan dibaca "titep", maka akan dibaca "tetep" dalam pengucapan ala Wonosobo. Ada pula pengucapan U dan O yang dilafalkan berbeda. Jika dialek surakarta membaca kata "tutup" dengan ucapan "tutop", masyarakat Wonosobo melafalkan U dalam kedua huruf vokal sebagai O seperti O dalam Oreo, maka akan dibaca "totop". Begitu juga dengan kata lain yang memiliki pola yang sama seperti kata durung, atau urung dialek Surakarta yang dalam bahasa ala Wonosobo diucapkan "horong". "Deke gak tetep ora? nyong gak lunga aja klalen totopna lawang ya nek horong di totop". Yang menjadi ciri khas lain adalah penggunaan kata A yang tetap dibaca A tidak seperti pada dialek surakarta yang dobaca O. Hal ini menjadi kemiripan dengan dialek banyumasan atau ngapak. Misalnya kata-kata seperti boso, sego, keno, bedo, dan dendo yang dibaca basa, sega, kena, beda, dan, denda. Dan biasanya masyarakat Wonosobo mengganti huruf A diawal kata setelah huruf konsonan dengan E, seperti bali, bayar, dan banyu menjadi beli, beyar, benyu. "Nyong guli gak beli mbeyar benyu ndeset ya". 3. Kosakata yang melimpah Bukan hanya logat, Bahasa Wonosobo juga memiliki jumlah kosakata yang banyak, beragam, dan bahkan berbeda-beda di tiap desa. Ini tidak hanya meliputi istilah-istilah khusus tertentu, tetapi juga kata-kata dasar dalam penggunaan sehari-hari juga berbeda. Salah satunya adalah untuk menyebut "kamu" yang dalam dialek lain adalah "koe", dalam Bahasa Wonosobo memiliki lebih dari satu. Bisa dengan kata deke, de'e, sira, rika, ra'i, sire. Saya tinggal di Desa Pecekelan di mana mayoritas menggunakan kata "sira". Ketika ngobrol dengan teman saya dari desa lain yang menggunakan "deke" jelas terdengar berbeda. Begitu juga ketika bertemu teman saya dari desa lainnya lagi yang menggunakan "de'e" ataupun "sire". Walaupun berbeda-beda, namun semuanya dipersatukan karena sama-sama pengguna kata nyong. 1 2 3 4 Lihat Travel Story Selengkapnya
NilaiJawabanSoal/Petunjuk JOGLO Gaya bangunan khas Jawa, atapnya menyerupai trapesium RUMAH Tempat tinggal GRIYA Bangunan tempat tinggal; rumah ASRAMA Bangunan tempat tinggal bersama WISMA Bangunan untuk tempat tinggal KANDANG Bangunan tempat tinggal binatang GERHA Bangunan, kantor, tempat tinggal AGIL Bangunan tempat tinggal untuk awak kapal KAMALI Bentuk bangunan istana tempat tinggal raja APARTEMEN Jenis tempat tinggal; kondominium BIARA Bangunan tempat tinggal para biarawan dan biarawati FLAT Bangunan bertingkat, terbagi dalam beberapa tempat tinggal HABITAT Tempat suatu makhluk hidup tinggal dan berkembang biak KONDOMINIUM Bangunan bertingkat yang terbagi dalam beberapa tempat tinggal ALAMAT Nama dan tempat tinggal seseorang HUNI Tempat tinggal HUNIAN Tempat tinggal KEDIAMAN Tempat tinggal PANTI Tempat tinggal KOTA Daerah permukiman yang terdiri atas bangunan rumah yang merupakan kesatuan tempat tinggal dari berbagai lapisan masyarakat BERBOYONG Berpindah tempat tinggal beserta seluruh keluarga dan seluruh barang miliknya para transmigran ~ ke luar Jawa; CAKELA Bangunan tempat tinggal yang khusus disediakan untuk pelacuran kadang- kadang merangkap sebagai tempat tinggal si pelacur; rumah pelacuran KAVELING TANAH - Tanah biasanya untuk bangunan atau tempat tinggal yang sudah dipetak-petak dalam ukuran tertentu oleh pemerintah sesuai dengan rencana tata kota dsb; tempat tanah kaveling GEDUNG Bangunan PANTEON 1 kuil candi tempat pemujaan dewa-dewa; 2 bangunan tempat pemakaman atau yang di dalamnya terdapat tanda-tanda peringatan kpd orang kenamaan yang t...
Arsitektur Arsitektur rumah Jawa dapat ditandai dengan adanya aturan hierarki yang dominan seperti yang tercermin pada bentuk atap rumah. Rumah tradisional Jawa memiliki tata letak yang sangat mirip antara satu dengan lainnya, tetapi bentuk atap ditentukan oleh status sosial dan ekonomi dari pemilik rumah. Arsitektur tradisional rumah Jawa banyak dipengaruhi oleh arsitektur pada zaman kolonial Belanda di Indonesia, gaya arsitektur ini juga sangat berkontribusi pada perkembangan arsitektur modern di Indonesia pada abad ke-20. Sesuai dengan struktur masyarakat Jawa dan tradisinya, rumah-rumah tradisional Jawa diklasifikasikan menurut bentuk atap mereka dari yang terendah ke tertinggi, yaitu Kampung, Limasan, dan Joglo. Rumah Kampung Atap Rumah Kampung diidentifikasikan sebagai rumah dari rakyat biasa. Secara struktural, atap Kampung adalah atap yang paling sederhana. Atap puncak Rumah Kampung bersandar pada empat tiang tengah dan ditunjang oleh dua lapis tiang pengikat. Bubungan atap didukung penyangga dengan sumbu Utara-Selatan yang khas. Struktur ini dapat diperbesar dengan melebarkan atap dari bagian atap yang ada. Rumah Limasan Atap Rumah Limasan digunakan untuk rumah-rumah keluarga Jawa yang memiliki status lebih tinggi. Jenis rumah ini adalah jenis yang paling umum untuk rumah Jawa. Denah dasar empat tiang rumah dapat diperluas dengan menambah sepasang tiang di salah satu ujung atap. Rumah Joglo Atap Joglo adalah bentuk atap yang paling khas dan paling rumit. Atap Rumah Joglo dikaitkan dengan tempat tinggal bangsawan Keraton, kediaman resmi, bangunan pemerintah, dan rumah bangsawan Jawa, atau ningrat. Saat ini pemiliknya tidak lagi terbatas pada keluarga bangsawan, melainkan siapa saja yang memiliki cukup dana untuk membangunnya. Sebab, untuk membangun rumah Joglo dibutuhkan bahan bangunan yang cukup banyak dan mahal. Atap Joglo memiliki beberapa ciri khas yang membedakannya dari 2 jenis atap lainya, yaitu atap utama lebih curam, dan bubungan atap tidak sepanjang rumah Limasan. Di empat tiang utama yang mendukung atap di atasnya terdapat susunan khas berupa tiang-tiang berlapis yang diartikan sebagai Tumpang Sari. Selain itu, jika terjadi kerusakan pada Rumah Joglo, proses perbaikan tidak boleh mengubah bentuk semula. Hal ini dikarenakan orang Jawa percaya, jika melanggar aturan ini akan menimbulkan pengaruh yang kurang baik pada penghuni rumah. Bangunan rumah Tidak berbeda dengan rumah tradisional Bali, rumah Jawa biasanya dibangun dalam suatu kompleks berdinding. Bahan untuk dinding pelindung kompleks rumah dibuat dari batu, bambu, dan kayu diperuntukan untuk rumah orang kaya. Rumah tradisional orang Jawa ideal nya terdiri atas tiga bangunan utama, yaitu Omah, Pendapa, dan Peringgitan. Pendopo Pendopo atau pendapa adalah sebuah paviliun yang terletak di bagian depan kompleks. Tempat ini digunakan untuk menerima tamu, pertemuan sosial, atau pertunjukan ritual. Pendopo menggunakan atap Joglo dan hanya terdapat di kompleks rumah orang kaya. Di beberapa daerah perkotaan yang padat, dinding batu biasanya akan didirikan di sekitar pendopo. Pringgitan Pringgitan adalah ruang yang menghubungkan antara Pendopo dengan Omah. Peringitan merupakan tempat untuk ringgit, yang memiliki arti wayang atau bermain wayang. Pringgitan memiliki bentuk atap Kampung atau Limasan. Omah Omah adalah rumah utama. Kata omah berasal dari Austronesia yang berarti “rumah”. Omah biasanya memiliki tata letak persegi atau persegi panjang dengan lantai yang ditinggikan. Bagian tengah omah menggunakan bentuk atap Limasan atau Joglo. Daerah di bawah atap dibagi oleh bilah-bilah dinding menjadi daerah dalam dan luar. Dalem Dalem adalah bangunan tertutup yang dibagi sepanjang poros Utara dan Selatan menjadi daerah-daerah yang berbeda. Pada model rumah Kampung dan Limasan, pembagian ini digunakan untuk membedakan antara bagian depan dan belakang. Namun, pada rumah Joglo terdapat tiga pembagian yang lebih rumit, antara depan, tengah, dan belakang. Bagian Timur depan Dalem adalah tempat berlangsungnya kegiatan semua anggota keluarga dan tempat semua anggota keluarga tidur pada sebuah ranjang bambu, sebelum pubertas anak-anak. Bagian tengah Dalem rumah Joglo ditegaskan oleh empat tiang pokok. Saat ini, bagian itu tidak lagi memiliki kegunaan khusus namun, secara tradisional daerah ini merupakan tempat pedupaan yang dibakar sekali dalam seminggu untuk menghormati Dewi Sri dewi padi, dan juga merupakan tempat pengantin pria dan wanita duduk pada upacara pernikahan. Senthong Senthong merupakan bagian belakang omah yang terdiri dari tiga ruangan tertutup. Senthong Barat merupakan tempat menyimpan beras dan hasil pertanian lainnya, sementara peralatan bertani disimpan di sisi Timur. Senthong secara tradisional merupakan ruangan yang dihias semewah mungkin atau lebih dikenal sebagai tempat tinggal tetap dari Dewi Sri. Pasangan pengantin baru terkadang tidur di Senthong tengah. Di bagian luar atau belakang kompleks terdapat beberapa bangunan lain seperti dapur dan kamar mandi. Sebuah sumur biasanya ditempatkan di sisi Timur karena, sumur yang berfungsi sebagai penyedia air dianggap sebagai sumber kehidupan dan selalu menjadi hal pertama yang harus diselesaikan ketika membangun sebuah kompleks rumah baru. Jika jumlah anggota keluarga atau kekayaan keluarga bertambah, bangunan-bangunan tambahan gandhok dapat ditambahkan.
- Joglo merupakan rumah tradisional Suku Jawa. Rumah ini disebut sebagai hasil arsitektur khas Indoneisa. Dilansir dari Kajian Penelitian Rumah Joglo karya Aqtami, rumah joglo memiliki kerangka bangunan utama yang terdiri dari empat tiang utama disebut soko guru merupakan penyangga struktur bangunan serta tumpang sari yang berupa susunan balok. Empat tiang penyangga ini disebut menjadi salah ciri dari rumah joglo. Baca juga 5 Tips Berwisata ke Linggarjati Joglo di Kaliangkrik, Magelang "Susunan ruangan pada joglo umumnya dibagi menjadi tiga bagian, yaitu ruangan pertemuan yang disebut pendapa, ruang tengah yang disebut pringgitan, dan ruang belakang yang disebut dalem sebagai ruang keluarga," tulis Aqtami dalam jurnalnya. Mengutip Nilai Kearifan Lokal Rumah Tradisional Jawa karya Djono dan kawan-kawan, joglo hanya salah satu dari sejumlah rumah tradisional Jawa. Akan tetapi, bangunan jenis ini disebut sebagai rumah tradisional Jawa dengan susunan paling lengkap. Sejarah rumah joglo Menurut Djono dan kawan-kawan, perkembangan sejarah rumah joglo tak terlepas dari bangunan purba yang disebut punden berundak. Bangunan purba tersebut merupakan bangunan suci dengan struktur dan bentuk yang bersusun memusat makin ke atas makin kecil. Shutterstock/nawara Rumah Joglo DOK. Shutterstock/nawara "Apabila dicermati, struktur dan bentuk rumah joglo sama dengan struktur dan bentuk candi Hindu. Oleh karena itu, dapat diduga bahwa rumah joglo adalah bentuk transformasi bentuk candi," tulis Djono dkk. Pembangunan rumah joglo disebut mengalami penyesuaian di masa lampau. Rumah tersebut dirancang agar lebih sesuai dengan iklim Jawa yang tropis. Baca juga 4 Tempat Wisata Alam Sekitar Linggarjati Joglo, Ada Nepal van Java Salah satu bentuk penyesuaian terhadap kondisi tersebut adalah dengan membuat teras depan yang luas. Atap gantung yang luas dan membentang ke segela arah pada rumah joglo juga menjadi salah satu bentuk penyesuaiannya. Dilansir dari Bangunan Rumah Tinggal Tradisional Jawa Tengah karya Trisusilowati, joglo dulunya hanya dimiliki keluarga terpandang, seperti kaum bangsawan. Rumah ini tak boleh dimiliki sembarang orang. Pembagian ruang rumah joglo yang filosofis Dilansir dari Tata Ruang dan Elemen Arsitektur pada Rumah Jawa di Yogyakarta sebagai Wujud Kategori Pola Aktivitas dalam Rumah Tangga karya Cahyandari, pembagian ruang rumah tradisional Jawa berkaitan erat dengan kedudukan masing-masing anggota keluarga. Kaum pria dalam keluarga Jawa diyakini sebagai pelindung dan perwakilan. Oleh karenanya, anggota pria dalam keluarga tersebut berhak untuk duduk di ruang tamu. "Hanya kepala rumah tangga dan tamu-tamunya yang berhak menggunakan perabotan di dalam dalem. Ruang dalam menjadi milik perempuan," tulis Cahyandari. Shutterstock/E. S. Nugraha Rumah Joglo DOK. Shutterstock/E. S. Nugraha Karena aturan tersebut, tamu perempuan biasanya diterima di dapur atau di bagian samping rumah. Menurut Djono dkk pembagian ruangan tersebut menerapkan prinsipp hierarki. Setiap ruangan memiliki perbedaan nilai. Baca juga Sejarah Masjid Agung Surakarta, Peninggalan Mataram Islam di Kota Solo Ruang bagian depan bersifat publik atau umum dan bagian berlakang bersifat khusus. Setiap ruangan tersebut juga memiliki unsur religi dan filosofi adat Jawa. Unsur religi atau kepercayaan terhadap dewa diwujudkan dengan ruang pemujaan terhadap Dewi Sri atau dewi keseuburan dan kebahagiaan rumah tangga. Ruang pemujaan tersebut bernama krobongan. Krobongan digambarkan sebagai ruang kamar yang selalu kosong, tetapi lengkap ranjang, kasur, bantal, dan guling. Baca juga 7 Peninggalan Kerajaan Islam di Jawa, Wisata Religi hingga Keraton Rumah joglo hingga kini masih bisa dijumpai di Jawa Tengah dan Yogyakarta, terutama di wilayah keraton. Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Mari bergabung di Grup Telegram " News Update", caranya klik link kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.
gaya bangunan terutama untuk tempat tinggal khas jawa